Kritik dan Apresiasi


Kritik dalam kehidupan sosial dan berorganisasi itu penting selama bersifat konstruktif. Kritik diperlukan dalam rangka untuk membangun dan membenahi setiap aspek yang dinilai kurang. Selanjutnya, dengan berbekal bahan kritikan (masukan, koreksian) tersebut, suatu komunitas atau organisasi dapat melakukan evaluasi dan kemudian dapat membenahi dan terus melakukan pengembangan untuk mencapai kemajuan di komunitas tersebut.

Namun, ada satu variabel lagi yang menurut saya penting untuk diperhatikan oleh setiap person dalam sebuah komunitas tersebut. Apa itu? Apresiasi. Apresiasi itu penghargaan. Termasuk di dalamnya pujian. Penghargaan itu sepatutnya diberikan kepada seseorang atau kelompok yang telah sampai pada titik capaian keberhasilan tertentu atau telah memberikan sumbangsih kepada komunitas tersebut sungguhpun dinilai remeh oleh sebagian orang. Apresiasi itu banyak bentuknya. Tidak musti berupa reward atau hadiah yang konkrit. Sebab, sumbangsih dan capaian keberhasilan seseorang itu bertingkat-tingkat, maka bentuk apresiasinya pun seringnya juga bertingkat-tingkat. Yang penting, jangan sampai tidak ada apresiasi dari setiap bentuk sumbangsih sekecil apapun yang diberikan orang seseorang meskipun dengan ucapan terima kasih atau bahkan jempol sekalipun,  kalau di sosial media. Apresiasi tidak kalah penting dari kritik yang membangun. Sifat dasar manusia itu suka diapresiasi dan tidak suka dikritik. Karenanya, ketika seseorang itu lebih banyak dikritik, namun sepi dari apresiasi, maka lambat laun ia akan down

Terkadang begini. Dalam suatu komunitas, tidak ada suatu pekerjaan kecuali rutinitas. Tidak ada pengembangan, kecuali sangat lambat. Nah, ketika ada seseorang atau suatu tim yang mencoba menginisiasi tindakan dan melakukan terobosan, alih-alih mendapat apresiasi yang mengobarkan semangat agar tetep konsisten, namun yang terjadi, ia justru memperoleh hujanan kritikan meski dibilang bersifat membangun. Maka, jangan berharap akan ada lompatan pencapaian yang menjadikan komunitas tersebut mampu berdiri sejajar dengan komunitas yang semisal apatah lagi kelas atas.

Dalam suatu organisasi, setidaknya ada empat tipikal orang terkait dengan kritik (yang membangun) dan apresiasi menurut pengamatan saya:

  1. Gemar mengkritik dan Gemar Mengapresiasi
    Dalam suatu komunitas, tipe pertama ini gemar sekali mengkritik, memberikan masukan dan koreksian, namun gemar pula mengapresiasi. Setiap ada aspek pekerjaan, yang dinilai kurang menurutnya, maka ia tak segan-segan melontarkan kritik dan masukan. Namun, ia juga tak pernah absen memberikan apresiasi manakala ada capaian keberhasilan dan bentuk sumbangsih yang diberikan oleh orang lain kepada komunitas tersebut.
  2. Gemar Mengkritik Namun Tidak Gemar Mengapresiasi
    Tipe yang kedua ini cukup banyak berada di suatu komunitas. Sangat getol dalam mengkritik, namun pelit memberikan apresiasi. Tipe ini, dalam satu sisi memberikan inputan yang baik bagi sebuah komunitas, namun pada sisi lain, tidak mengobarkan semangat orang lain yang hendak berkreasi dan berkontribusi untuk pencapaian keberhasilan dan pengembangan peradaban sebuah komunitas.
  3. Gemar Mengapresiasi Namun Tidak Gemar Mengkritik.
    Tipe yang ketiga ini adalah kebalikan dari tipe yang kedua. Ia cenderung pasif dan menjadi silent reader (jika di dunia maya), namun ketika ada keberhasilan yang dicapai atau ada sumbangsih yang diberikan oleh orang lain, ia tidak pelit untuk memberikan apresiasi walau sekedar jempol atau pujian kecil.
  4. Tidak Gemar Mengkritik dan Tidak Pula Gemar Mengapresiasi
    Tipe yang keempat ini betul-betul tipe yang pasif. Bahkan ketika diminta masukan pun, ia cenderung diam dan mencukupkan dengan masukan orang lain. Ia juga pasif dalam memberikan apresiasi. 
    Setelah membaca keempat tipe tersebut, Anda termasuk tipikal yang mana? Cukup diri Anda saja yang dilihat. Tidak perlu mengidentifikasi orang per orang lalu mengklasifikannya. 

Fungsi Agama


Tulisan dalam gambar ini adalah satu di antara banyak tulisan yang serupa yang beredar luas di jagad maya yang jika tidak didudukkan dengan baik, akan berbahaya bagi pemikiran khalayak yang membacanya. Berbahaya karena dapat mempengaruhi paradigma seseorang sehingga akan memandang buruk suatu agama dan ujungnya menjadi sesat dan menyesatkan. Lagi-lagi agama menjadi terfitnah karenanya.

FB_IMG_1586658920342

Sebuah tulisan atau ungkapan bisa bernilai benar atau salah bergantung  kepada siapa yang mengungkapkannya meskipun kontennya sama. Lho kok bisa? Bisa saja. Sebab betapa banyak kita dapati sebuah tulisan atau ungkapan memiliki misi tertentu dari orang yang mengungkapkannya. 

Tulisan atau ungkapan diatas bisa bernilai benar jika diungkapkan oleh seseorang yang memiliki kecemburuan yang tinggi terhadap agamanya. Namun, pertanyaannya, buat apa juga seseorang tersebut  mengungkapkan ungkapan seperti itu dan mempertanyakan apa sebenarnya fungsi agama yang seakan-akan menyangsikannya? Katakanlah benar, ungkapan tersebut keluar dari lisan seseorang yang dikenal memiliki kecemburuan yang tinggi terhadap agamanya, maka tak lain adalah untuk mengingatkan atau menggugah hati yang lalai dari orang-orang yang mengaku beragama namun abai terhadap agamanya sehingga mereka kembali kepada agamanya yang hanif atau lurus. Bukan bermaksud mencampakkan agama karena dianggap tidak ada fungsinya. 

Adapun jika ungkapan tersebut diungkapkan oleh seseorang yang dikenal sangat getol memusuhi orang-orang kuat dalam mendakwahkan dan mengamalkan agamanya, maka jelas, ungkapan tersebut memiliki misi yang buruk yang hendak menjauhkan siapapun yang membacanya atau mendengar ungkapannya dari agamanya. Mereka bisa datang dari kalangan liberal, ateis dan sespeciesnya.

Perlu diketahui bahwa, orang yang beragama itu tidak seluruhnya berilmu. Ada yang sangat berilmu, ada yang pertengahan dan ada pula yang awam alias dia menjalankan agama sebatas pada mengikuti ritual agama namun kurang memaknai dibalik ritual yang diajarkan dalam agama. Nah, menilai dan menjustifikasi serta seakan-akan menyangsikan peran agama sebagai solusi dari setiap problematika umat, dari person atau pemeluknya yang sangat heterogen jelas ini tidak fair. Apalagi kemudian membandingkan dengan orang atau umat lain yang tanpa agama (baca: ateis) namun seakan-akan memiliki peran besar dalam menjawab problematika umat, seperti saat menghadapi pandemi global seperti saat ini. 

Seperti misalnya ketika ada jamaah dalam agama Islam, yang bersikukuh tetap mengadakan pertemuan akbar di saat pandemi global, dengan argumen, “kami hanya takut kepada Allah, kami tidak takut kepada virus corona”, atau ungkapan lain, ‘jika memang ditakdirkan akan terpapar virus, ya pasti kena, jika tidak, ya tidak akan kena” , lantas kemudian datang orang-orang congkak dari gerombolan liberal atau ateis yang membodoh-bodohkan umat islam secara tidak fair alias gebyah uyah, dan muaranya apalagi selain hendak merubuhkan bangunan Islam. Ya begitulah, piciknya cara berfikir orang-orang yang sudah dibutakan mata hatinya untuk menerima Islam karena kebenciannya. Islam itu sudah sempurna dan parnipurna. Di dalamnya sudah memberikan solusi atas semua problematika di dunia. Islam tidak bertentangan dengan sains. Demikian pula Islam tidak meniadakan sebab-sebab syari dan kauni yang wajib ditempuh oleh pemeluknya untuk meraih segala sesuatu sebagaimana yang dipersepsikan sebaliknya oleh orang2 ateis dan sebangsanya. Makanya jika mau menilai islam, ya nilailah dari Islamnya sendiri dan dari sumber2nya yang terpercaya dan otentik bukan dari person-personnya atau pemeluknya yang tak sedikit salah dalam memahami dan mempraktekannya.

Adapun jawaban saya terhadap statemen dan pertanyaan diatas, jika kalimat itu diungkapkan oleh orang-orang yang memiliki misi yang jahat, adalah bahwasanya agama diturunkan sebagai pedoman bagi manusia untuk menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini dalam hubungan vertikal kepada penciptanya, maupun dalam hubungan horisontal kepada sesamanya dan makhluk selainnya.

Apakah tanpa agama, manusia mampu menjalani kedua hubungan tersebut? Bisa, tetapi tidak sepenuhnya bahkan seringkalinya berujung sesat jalan. Manusia pada dasarnya diciptakan dengan fitrah yang baik. Ia bertuhan dan mengesakannya. Demikian pula, secara fitrah manusia memiliki sisi humanis atau kemanusiaan. Mereka tahu kalau mencuri, menganiaya, apalagi membunuh orang lain itu adalah perbuatan naif dan buruk sekali. Orang ateis sekalipun juga akan memandang demikian. Namun, banyak pula perkara2 yang sisi humanis manusia tidak mampu (tumpul) mengenali  semua hal-hal  yang terjadi di dunia ini. Banyak manusia yang memandang zina itu tidak buruk jika dilakukan atas dasar suka sama suka. Demikian pula riba, pacaran, kesyirikan, dll. Itu sebabnya, agama (islam) datang untuk menjelaskan kepada manusia seluruh perkara, baik yang kecil maupun yang besar, serta perkara baik dan buruk yang dalam penilaian Allah dituangkan dalam sumber ajarannya (Alquran dan Sunnah).

Jika penilaian baik dan buruk, diserahkan kepada manusia sendiri dengan akal dan hatinya (sisi humanis) yang terbatas, sudah tentu akan banyak perkara yang diperselisihkan dan menjadi perdebatan yang tak berkesudahan, karena tiadanya standar kebenaran. Siapa yang akan mereka jadikan standar kebenaran dari bertingkatnya level intelegensi akal? Apakah orang yang paling cerdas di dunia bisa dijadikan sebagai standar kebenaran? Semuanya jadi absurb alias enggak jelas. Alhasil, jelas agama adalah solusi dan standar kebenaran dari Tuhan yang setiap manusia dari kalangan ahli ilmunya maupun awamnya bisa menggunakannya, sebagai rahmat dan kasih sayang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allaahul Musta’an.

Antara Nahi Munkar dan Mengorek-korek Kesalahan Orang


Terkadang atau bahkan seringnya antara mengoreksi kesalahan orang lain dan perintah amar makruf nahi munkar menjadi sangat bias. Maksudnya bagaimana? Kewajiban amar makruf nahi munkar dipandang menjadi sebuah perbuatan mengoreksi kesalahan  orang lain atau kelompok lain. Bahkan lebih dari itu, sampai kepada persepsi mencari cari aib orang lain atau kelompok lain. Persepsi seperti itu muncul memang bukan tanpa sebab. Tak sedikit orang yang bersemangat mengingkari kesalahan orang lain atau kelompok lain tidak mengindahkan aturan atau prosedur yang benar sebagaimana sudah digariskan dalam syariat. Pun demikian sebaliknya, munculnya persepsi tersebut, jangan lantas kemudian dijadikan sebagai sebuah justifikasi bahwa setiap pengingkaran suatu kesalahan atau perbuatan dosa itu auto disebut mengorek-korek kesalahan orang lain. Jelas ini juga keliru. Maka sepatutnya kita harus bijak mendudukkan persoalan ini.

Amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban dalam syariat agama kita yang mulia, yaitu Islam. Dalam setiap syariat yang Allah turunkan, pasti membawa maslahat yang besar baik bagi diri maupun bagi masyarakat. Sudah barang tentu, dalam syariat tersebut, Allah sudah menyertakan kaifiyat atau tata caranya. Maka, kewajiban kita sebagai objek yang dikenakan beban syariat (taqlif) adalah mengikuti sepenuhnya aturan dari syariat tersebut. Ketika hal itu dilanggar, maka bukan tujuan dari diturunkannya syariat tersebut yang tercapai, akan tetapi ditolaklah syariat itu oleh sebagian manusia. Oleh karena itu, secara garis besar, aturan dari amar makruf nahi munkar, atau jika kita spesifikan menjadi nahi munkar, memiliki beberapa kaidah atau prosedur yang umum berdasarkan referensi yang saya baca.

Pertama, jika pengingkaran sebuah kesalahan atau perbuatan dosa akan melahirkan perbuatan dosa yang lebih besar atau menimbukan kemudharatan yang lebih besar, maka dalam kondisi seperti itu, harus menahan diri dari mengingkari kesalahan tersebut. Tidaklah hal ini bisa dilakukan kecuali bersama ahli ilmu. Orang awam tidak akan mampu melihat dampak buruk atau efek domino yang ditimbulkan dari pengingkaran kesalahan atau perbuatan dosa. Kedua, jika sebuah kesalahan atau perbuatan dosa dilakukan secara sembunyi2, maka pengingkarannya juga dilakukan secara sembunyi2. Jangan diingkari sembunyi-sembunyi  namun setelah itu dibeberkan kesalahannya di ruang publik. Kecuali jika perbuatan dosa tersebut berkenaan dengan kemaslahatan orang banyak. Pun, jika ada seseorang yang melakukan kesalahan di ruang publik, maka jika masih memungkinkan, ingkarilah (baca,koreksi dan nasehati) secara empat mata. Harapannya, ia tidak malu dan dipermalukan dan ia bisa meralat kesalahannya supaya tidak ditiru oleh orang lain.

Ketiga, berdasarkan hadits nabi , jika tidak mampu mengingkari dengan tangannya, maka ingkarilah dengan lisannya. Jika tidak mampu dengan lisannya, maka ingkarilah dengan hatinya. Tentu SOP yang diberikan oleh Nabi, menyimpan hikmah yang besar, dan ini berkenaan dengan kaidah atau aturan yang pertama tadi. Coba bayangkan, apa yang terjadi jika ada seorang anak kecil yang nekad mengingkari segerombolan preman yang tengah atau mau mabuk-mabukan  dipinggir jalan? Tentu akan mengancam nyawa anak kecil tersebut. Maka, yang mesti dilakukan oleh anak tersebut adalah mengingkari dalam hatinya bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan munkar yang dibenci Allah. Anak tersebut bisa melapor kepada RT setempat sehingga RT bersama warga dan polisi bisa menindak segerombolan preman tersebut. Keempat, orang yang hendak mengingkari kesalahan atau dosa, hendaknya betul2 paham bahwasanya perbuatan yang hendak diingkari tersebut adalah benar-benar perbuatan dosa atau faisyah baik yang terang benderang atau sudah jamak diketahui oleh semua orang bahwa perbuatan tersebut adalah memang perbuatan dosa maupun yang samar (hanya diketahui oleh ahli ilmunya)

Dari kaidah dan aturan nahi munkar tersebut, kita akhirnya paham, bahwasanya sebuah kesalahan terutama yang berkonsekuensi dosa, memang sudah seharusnya diingkari, dicegah dan dinasehati pelakunya agar di kemudian hari tidak diulang kembali entah karena ia khilaf atau memperturutkan hawa nafsu atau karena dia memang benar-benar tidak tau bahwa perbuatan tersebut terlarang dalam agama. Dengan mengikuti kaidah dan aturan yang sudah digariskan dalam agama, harapannya agar nahi munkar tidak dipersepsikan sebagai perbuatan mengorek-ngorek kesalahan orang lain yang akhirnya akan bermuara pada satu titik, tidak ada yang boleh menjustifikasi kesalahan orang lain selain Tuhan.

Apa Obat Sakit Gigi yang Cocok Buat saya ya?


Saya tidak bermaksud meng-endorse dalam postingan ini. Tapi jikapun dianggap demikian, juga tak jadi soal. Saya merasa perlu dan penting untuk membuat tulisan tentang obat ini. Sebab, saya sudah beberapa kali merasakan manfaatnya.

IMG_20200406_072211

Sakit gigi memang bukan penyakit berat. Namun, banyak orang dibuat repot dan menderita karenanya. Makan tak enak, tidur tak enak, semuanya menjadi tak enak. Intinya, jika seseorang sudah sakit gigi, maka kebahagiaan seakan terlihat menjauhi dirinya. Apapun nikmat dan karunia yang ada di dirinya dan keluarga, seakan tertutupi dengan rasa sakit yang tak tertahankan. Ya, itulah sakit gigi. Sakit yang kata sebagian orang lebih sakit daripada sakit hati.

Setiap orang dalam hidupnya mungkin sudah pernah mengalami sakit gigi. Kecuali (mungkin) anak-anak yang giginya masih gigi susu. Gigi yang masih memungkinkan untuk tumbuh gigi baru jika gigi mereka, tanggal atau ompong. Namun, bagi orang dewasa, sakit gigi seakan-akan menjadi keniscayaan. Bersyukurlah bagi Anda yang belum pernah sekalipun sakit gigi selama hidup anda. Itu artinya, Anda sangat disiplin menggosok gigi dan menjaga pola makanan dan minuman yang anda konsumsi. Sebab, sememangnya, penyebab gigi berlubang dan hancur setelahnya, bukan hanya karena tidak disiplinnya menggosok gigi atau bersiwak, akan tetapi juga kerap meminum atau memakan minuman dan makanan panas dan dingin dalam waktu yang bersamaan. Hal itu memang pantangan bagi sebuah gigi. 

Mengobati sakit gigi memang gampang-gampang susah. Gampang jika cocok sama obatnya. Susah jika tidak cocok sama obatnya. Terkadang ada sebagian orang yang meminum obat hanya sekedar untuk meredakan sakitnya saat itu, namun sesaat setelah itu sakitnya datang kembali. Itulah yang dinamakan sebagai obat penghilang rasa nyeri.

Dalam paragraf ini, saya ingin berbagi info terkait obat herbal yang sudah dua kali terakhir saya sakit gigi, dan kemudian berobat dengannya, dan cespleng, sembuh seketika, walhamdulillah. Pemakaiannya gampang. Cukup teteskan pada gigi yang berlubang atau yang terasa sakit, atau bisa juga dengan menempelkan kapas yang sebelumnya sudah ditetesi obat tersebut pada gigi yang tanggal dan sakit. Tunggu beberapa saat. Dengan izin Allah, sakitnya berangsur-angsur berkurang dan hilang. Karena herbal, insyaallah obat ini aman jikapun tak sadar tertelan.

Alhasil, jika saat ini anda tengah sakit gigi, mungkin tips atau obat ini bisa menjadi alternatif bagi Anda. Tersedia di toko-toko herbal. Kalau anda malas keluar dan takut terpapar corona, ambil hp, ketik nama obat ini di marketplace dan kemudian beli. Awas obat palsu. Semoga Allah segera menyembuhkan sakit gigi Anda. Aamiin

Elearning di Tengah Pandemi


Di antara hikmah pandemi Covid-19 bagi guru atau dosen adalah pengejewantahan pembelajaran daring. Sebetulnya sudah cukup lama perangkat daring itu ada seiring dengan perkembangan yang demikian pesat dalam teknologi informatika dan komputer. Akan tetapi, diakui atau tidak, belum cukup banyak guru atau dosen yang sudah mengimplementasikannya. Alasannya sederhana, ribet. Kadang tak sedikit juga yg beralasan diplomatis, yakni pembelajaran daring tidak mampu mengakomodasi tiga aspek penting dalam pembelajaran yakni kognitif, afektif dan psikomotorik. Masuk akal memang. Namun sesungguhnya, gagasan awal pembelajaran daring bukan muncul untuk menggantikan pembelajaran tatap muka (offline), akan tetapi sebagai pelengkap dan pengayaan materi pembelajaran tatap muka yang dinilai kurang.

Bagi saya, pembelajaran daring berbasis teleconference seperti zoom atau selainnya tidak cocok untuk saat ini, terutama di waktu-waktu prime time seperti pagi hari (dhuha) dan malam hari selepas maghrib. Padahal hampir semua perkuliahan saya terjadwal di waktu prime time. Lha emang kenapa? Anak saya masih kecil-kecil. Enam tahun, empat tahun dan satu tahun. Bisa anda bayangkan betapa riuhnya suasana rumah saya dengan celotehan dan teriakan anak-anak saya saat main. Belum lagi, jika si bontot sudah lihat ayahnya mainin sesuatu. Pasti langsung didekati dan pingin direbut. Kan gak lucu, kalau ayahnya lagi konsentrasi teleconference dengan mahasiswanya, tiba-tiba direcokin si kecil. Gagal total. Maka, pembelajaran daring berbasis teks atau tulisan yang menjadi pilihan saya saat ini. Meski demikian, bukan berarti saya tidak pernah memberikan materi dalam bentuk audio visual. Jika tidak live, masih memungkinkan bagi saya untuk menggarap video pembelajaran dan kemudian mempublishnya di kanal youtube. Untuk menggarap video pembelajaran bisa dilakukan saat tengah malam saat anak-anak sudah tidur. Video yang sudah ter-publish di youtube, dapat saya share linknya di aplikasi atau media pembelajaran seperti WAG atau Google Classroom. Nah, kedua media itulah yang saat ini saya gunakan untuk mensukseskan pembelajaran daring di tengah pandemi Covid-19 ini.

Setelah menggunakan dua pekan ini, izinkanlah saya memberikan testimoni dan komparasi dari kedua aplikasi elearning diatas. Google Classroom (GC) dari sisi fiture, jelas lebih lengkap dibandingkan WAG. GC memiliki fiture classroom alias fiture tugas dan kuis yang bisa digunakan oleh guru/dosen untuk mengunggah atau memposting tugas/kuis. Demikian pula, mahasiswa dapat memposting atau mengunggah jawaban dari tugas yang diberikan. Dengan demikian, guru atau dosen dapat dengan mudah menginventarisasi tugas-tugas siswa atau mahasiswa. Tak hanya itu, google classroom juga dilengkapi fiture nilai serta  presensi atau kehadiran siswa/mahasiswa sehingga riwayat kehadiran dan ketidakhadiran bisa terekam dengan mudah.

Adapun WAG, tidak dilengkapi fiture classroom, nilai, dan presensi tersendiri. Namun dari sisi pemostingan materi berupa teks,  gambar  dan video, jelas WAG lebih ungguh ketimbang GC. Dari sisi mana keunggulannya? WAG memberikan kemudahan bagi penggunanya saat memposting teks dengan variasi penekanan tulisan baik bold, italic dan ratusan emoticon menarik lainnya yang membantu pembacanya (baca: siswa/mahasiswa) lebih memahami maksud dan pesan/materi yang disampaikan pemostingnya (baca: guru atau dosen). Begitu juga, untuk posting gambar atau video, WAG lebih direct (baca: tampil langsung) dibandingkan dengan GC yang ditampilkan dalam bentuk attachment sebagaimana tampilan file berupa doc, pdf atau semisalnya di WAG. Tampilan berupa attachment/lampiran cenderung kurang praktis dibuka-buka dibandingkan tampilan berupa gambar yang view-nya langsung. Sampai disini paham kan?😁 Hal inilah yang tidak dapat dilakukan di GC. Postingan materi cenderung tidak menarik, datar dan tidak bisa memberikan penekanan seperti bold atau italic. Padahal penekanan-penekanan dalam suatu tulisan itu cukup penting untuk membantu memudahkan dalam pemahaman. Nah itulah sedikit komparasi dari saya dari dua media elearning yang mungkin paling familiar di antara puluhan aplikasi elearning yang tersedia di pasaran. Jika ada kekeliruan, terima kasih jika  anda berkenan mengoreksi atau menambahkan yang belum ada. Sekian terima gaji. 

Tertawa diatas pandemi


Wabah pandemi covid 19 ini menyadarkan banyak manusia yang lalai. Juga mengembalikan manusia yang jauh dari Tuhannya. Kecuali segelintir mereka yang tidak mampu mengambil pelajaran dari setiap kejadian. Pandemi wabah bagi mereka yg segelintir itu tak lebih dari seleksi alam atau bencana non alam. Padahal jika mereka sedikit mau berfikir dan merenungi, tentu semuanya ada pelajaran yang semestinya dipetik oleh manusia. Apalagi mereka yang mengaku beragama. Sikap acuh tak acuh dan masa bodoh, seringkalinya menjadi penyebab utama manusia semakin tenggelam dalam kelalaian dan keterlenaan.

Tak sulit bagi kita di zaman ini mendapatkan nasehat-nasehat berharga dari ahli ilmu atau pemuka agama atas setiap kejadian sungguhpun kita tidak sengaja mencarinya. Yang menjadi masalah kan karena kitanya yang menutup diri. Kita lebih demen menuruti selera kita dengan mencari sisi humor dari kehidupan sekitar kita. Kalau mau jujur, segala sesuatu yg berbau humor atau lelucon itu sudah terlalu overdosis menggempur kehidupan kita. Hampir-hampir tiada hari tanpa lelucon. Bukan berarti lelucon itu dilarang. Namun, yang menjadi masalah sisi lelucon itu mendominasi kehidupan kita. Kan terbalik. Seharusnya kita lebih banyak memaknai hidup yang fana ini dan merenungi apakah bekal yang akan kita bawa setelah masa kematian yang datangnya misteri itu sudah cukup. Baru setelahnya kita katakan sesekali kita humor tak jadi soal.

Sungguh begitu banyak, meme-meme humor yang terus diproduksi dan masiv disebarkan di dunia maya sehingga banyak orang yang karenanya menjadi terlena dan lalai dari tujuan mereka diciptakan. Seakan-akan manusia akan hidup 1000 tahun. Seakan-akan manusia tidak akan mati. Seakan-akan manusia tidak akan dihisap. Maka tak heran di tengah situasi sulit seperti ini, dimana merebaknya pandemi covid 19 semakin sulit dikendalikan, masih saja ada segelintir manusia yang terbahak-bahak dan bersendau gurau dengan obrolan seputar covid-19. Tidakkah mereka melihat kematian dipelupuk mata mereka?